Pengertian Administrasi
Secara
etimologis, administrasi berasal dari bahasa latin yang terdiri dari kata ad
yang berarti intensif dan ministraire yang
berarti to serve (melayani). Literatur lain
menjelaskan bahwa administrasi merupakan
terjemahan dari bahasa Inggris yaitu
administration yang bentuk infinitifnya adalah
to administer. Dalam Oxford Advanced
Learner’s Dictionary of Current English
(1974), kata administer diartikan sebagai to
manage (mengelola) atau to direct
(menggerakkan) (Ulbert Silalahi 1992: 2-3). Kata
administrasi juga berasal dari bahasa Belanda,
yaitu administratie yang meliputi kegiatan
catat mencatat, surat menyurat, pembukaan
ringan, ketik mengetik, agenda dan sebagainya
yang bersifat teknis ketatausahaan (clrecical
work) (Suwarno Handayaningrat, 1988: 2).
Secara ilmu, menurut Leonard D. White (dalam
Introduction to Study of Public
Administration), administrasi adalah suatu
proses yang pada umumnya terdapat pada
semua usaha kelompok Negara atau swasta, sipil
atau militer, usaha yang besar atau yang
kecil dan sebagainya. Sementara itu The Liang
Gie (1980) menyatakan bahwa administrasi
adalah segenap rangkaian kegiatan penataan
terhadap pekerjaan pokok yang dilakukan
oleh sekelompok orang dalam kerja sama
mencapai tujuan tertentu. William H. Newman
(dalam Administrative Action The Techniques of
Organization and Management)
mendefinisikan administrasi sebagai
pembimbingan, kepemimpinan dan pengawasan
usaha-usaha suatu kelompok orang-orang ke arah
pencapaian tujuan bersama. Sondang P.
Siagian (dalam Filsafat Administrasi)
berpendapat bahwa administrasi merupakan
keseluruhan proses kerjasama antara dua orang
manusia atau lebih yang didasarkan atas
rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan sebelumnya. Sementara
itu Dwight Waldo (1971) mendefinisikan
administrasi sebagai suatu daya upaya manusia
yang kooperatif yang mempunyai tingkat
rasionalitas yang tinggi.
Definisi Administrasi : Sekelompok orang yang
bekerja sama untuk membantu, memenuhi dan melayani segenap rangkaian kegiatan
penataan suatu pekerjaan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam kerja sama
untuk mencapai tujuan tertentu.
Administrasi juga dapat diartikan kegiatan dalam usaha yang mencakup
penetapan tujuan serta penepatan cara penyelenggaraan pembinaan organisasi.
3 faktor administrasi :
- Sekelompok orang
- Kerja
sama
- Tujuan
tertentu
Administrasi mempunyai 8 unsur :
Organisasi Keuangan
Manajemen Perbekalan
Komunikasi Tata
Usaha (TU)
Kepegawaian Humas
(Public Relation)
Fungsi Administrasi :
Menurut Quible ada 5 fungsi :
1.
Fungsi
Rutin
2.
Fungsi
Teknis
3.
Fungsi
Analisis
4.
Fungsi
Interpersonal
5.
Fungsi
Manajerial
Ada
beberapa hal penting dalam administrasi :
1. Adanya kelompok manusia yang saling
membantu & kerjasama
2. Tujuan yang telah ditetapkan
3. Tujuan yang harus dilaksanakan dalam
mencapai tujuan
4. Sumber yang berupa dana, peralatan,
peraturan dan waktu.
Administrasi
juga bagian dari pekerjaan TU.
Administrasi dalam arti sempit adalah kegiatan
Penyusunan pencatatan data dan informasi secara sistematis untuk mencapai
tujuan. Sedangkan dalam arti luas adalah
kegiatan kerja sama antara 2 orang dalam mengerjakan sesuatu sesuai dengan
struktur organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan secara efektif
dan efisien.
Jadi,
kesimpulan administrasi adalah segenap proses penyelenggaraan kegiatan ke TU
yang diselenggarakan atau dikerjakan antara 2 orang dalam mengerjakan sesuatu
sesuai dengan struktur organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Nama : Habibah
NIM : 215.057.20201.2091
Jurusan : Administrasi Publik / Semester I ( Ganjil )
Administrasi publik
Administrasi Publik (Inggris:Public
Administration) atau Administrasi Negara adalah suatu bahasan ilmu
sosial yang mempelajari tiga elemen penting kehidupan bernegara yang meliputi
lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif serta hal- hal yang berkaitan dengan
publik yang meliputi kebijakan publik, manajemen publik, administrasi
pembangunan, tujuan negara, dan etika yang mengatur penyelenggara negara.[1]
Secara sederhana, administrasi publik
adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana pengelolaan suatu organisasi publik. Meskipun sama-sama mengkaji tentang organisasi, administrasi publik ini
berbeda dengan ilmu manajemen: jika manajemen
mengkaji tentang pengelolaan organisasi swasta, maka administrasi publik
mengkaji tentang organisasi publik/pemerintah, seperti departemen-departemen,
dan dinas-dinas, mulai dari tingkat kecamatan sampai tingkat pusat. Kajian ini termasuk
mengenai birokrasi; penyusunan,
pengimplementasian, dan pengevaluasian kebijakan publik; administrasi pembangunan; kepemerintahan daerah; dan good governance.
Lokus
Lokus adalah tempat yang menggambarkan di
mana ilmu tersebut berada. Dalam hal ini lokus dari ilmu administrasi publik
adalah: kepentingan publik (public interest) dan urusan publik (public affair).[2]
Fokus
Fokus adalah apa yang menjadi pembahasan
penting dalam memepelajari ilmu administrasi publik. yang menjadi fokus dari
ilmu administrasi publik adalah teori organisasi dan ilmu manajemen.[2]
Sejarah
Ilmu Administrasi Negara lahir sejak Woodrow Wilson (1887), yang kemudian menjadi presiden
Amerika Serikat pada 1913-1921, menulis sebuah artikel yang berjudul “The
Study of Administration” yang dimuat di jurnal Political Science Quarterly. Kemunculan artikel itu
sendiri tidak lepas dari kegelisahan Wilson muda akan perlunya perubahan
terhadap praktik tata pemerintahan yang terjadi di Amerika Serikat pada waktu
itu yang ditandai dengan meluasnya praktik spoil system (sistem
perkoncoan) yang menjurus pada terjadinya inefektivitas dan inefisiensi dalam pengelolaan negara. Studi Ilmu Politik yang berkembang pada saat itu
ternyata tidak mampu memecahkan persoalan tersebut karena memang fokus kajian
Ilmu Politik bukan pada bagaimana mengelola pemerintahan dengan efektif dan efisien,
melainkan lebih pada urusan tentang sebuah konstitusi dan bagaimana
keputusan-keputusan politik dirumuskan.
Woodrow Wilson
Menurut Wilson, Ilmuwan Politik lupa bahwa
kenyataannya lebih sulit mengimplementasikan konstitusi dengan baik dibanding
dengan merumuskan konstitusi itu sendiri. Sayangnya ilmu yang diperlukan untuk
itu belum ada. Oleh karena itu, untuk dapat mengimplementasikan konstitusi
dengan baik maka diperlukan suatu ilmu yang kemudian disebut Wilson sebagai
Ilmu Administrasi tersebut. Ilmu yang
oleh Wilson disebut ilmu administrasi tersebut menekankan dua hal, yaitu
perlunya efisiensi dalam mengelola pemerintahan dan perlunya menerapkan merit system
dengan memisahkan urusan politik dari urusan pelayanan publik. Agar
pemerintahan dapat dikelola secara efektif dan efisien, Wilson juga
menganjurkan diadopsinya prinsip-prinsip yang diterapkan oleh organisasi bisnis
―the field of administration is the field of business.
Penjelasan ilmiah terhadap gagasan Wilson
tersebut kemudian dilakukan oleh Frank J. Goodnow yang menulis buku yang berjudul: Politics and Administration pada
tahun 1900. Buku Goodnow tersebut seringkali dirujuk oleh para ilmuwan
administrasi negara sebagai "proklamasi‟ secara resmi terhadap lahirnya
Ilmu Administrasi Negara yang memisahkan diri dari induknya, yaitu Ilmu
Politik. Era ini juga sering disebut sebagai era paradigma dikotomi
politik-administrasi. Melalui paradigma ini, Ilmu Administrasi Negara mencoba
mendefinisikan eksistensinya yang berbeda dengan Ilmu Politik dengan ontologi, epistimologi dan aksiologi yang berbeda. Beberapa
tahun kemudian, sebuah buku yang secara sistematis menjelaskan apa sebenarnya
Ilmu Administrasi Negara lahir dengan dipublikasikannya buku Leonard D. White yang berjudul Introduction to the Study of Public Administration
pada 1926. Buku White yang mencoba merumuskan sosok Ilmu Administrasi tersebut
pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh berbagai karya ilmuwan sebelumnya yang
mencoba menyampaikan gagasan tentang bagaimana suatu organisasi seharusnya
dikelola secara efektif dan efisien, seperti Frederick Taylor (1912) dengan karyanya yang berjudul Scientific Management, Henry Fayol (1916) dengan pemikirannya yang
dituangkan dalam monograf yang berjudul General and Industrial
Management, W.F. Willoughby (1918) dengan karyanya yang berjudul The Movement for Budgetary Reform
in the State, dan Max Weber (1946) dengan
tulisannya yang berjudul Bureaucracy.
Era berikutnya merupakan periode di mana
para ilmuwan administrasi negara berusaha membangun body of knowledge
ilmu ini dengan terbitnya berbagai artikel dan buku yang mencoba menggali apa
yang mereka sebut sebagai prinsip-pinsip administrasi yang universal. Tonggak
utama dari era ini tentu saja adalah munculnya artikel L. Gulick (1937) yang berjudul Notes on the Theory of Organization di mana dia
merumuskan akronim yang terkenal dengan sebutan POSDCORDB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Co-ordinating, Reporting
dan Budgeting). Tidak dapat dipungkiri, upaya para ahli administrasi negara
untuk mengembangkan body of knowledge ilmu administrasi negara sangat
dipengaruhi oleh ilmu manajemen. Prinsip-prinsip
administrasi sebagaimana dijelaskan oleh para ilmuwan tersebut pada dasarnya
merupakan prinsip-prinsip administrasi yang diadopsi dari administrasi bisnis
yang menurut mereka dapat juga diterapkan di organisasi pemerintah.
Perkembangan pergulatan pemikiran ilmuwan
administrasi negara diwarnai sebuah era pencarian jati diri Ilmu Administrasi
Negara yang tidak pernah selesai. Kegamangan para ilmuwan administrasi negara
dalam meninggalkan induknya, yaitu Ilmu Politik, untuk membangun eksistensinya
secara mandiri bermula dari kegagalan mereka dalam merumuskan apa yang mereka
sebut sebagai prinsip-prinsip administrasi sebagai pilar pokok Ilmu
Administrasi Negara. Keruntuhan gagasan tentang prinsip-prinsip administrasi
ditandai dengan terbitnya tulisan Paul Applebey (1945) yang berjudul Government is Different. Dalam tulisannya
tersebut Applebey berargumen bahwa institusi pemerintah memiliki karakteristik
yang berbeda dengan institusi swasta sehingga prinsip-prinsip administrasi yang diadopsi
dari manajemen swasta tidak serta merta dapat diadopsi dalam institusi
pemerintah. Karya Herbert Simon (1946) yang berjudul The Proverbs of Administration semakin
memojokkan gagasan tentang prinsip-prinsip administrasi yang terbukti lemah dan
banyak aksiomanya yang keliru. Kenyataan yang demikian membuat Ilmu
Administrasi Negara mengalami "krisis identitas‟ dan mencoba menginduk
kembali ke Ilmu Politik. Namun demikian, hal ini tidak berlangsung lama ketika
ilmuwan administrasi negara mencoba menemukan kembali fokus dan lokus studi
ini.
Kesadaran bahwa lingkungan pemerintahan
dan bisnis cenderung mengembangkan nilai, tradisi dan
kompleksitas yang berbeda mendorong perlunya merumuskan definisi yang jelas
tentang prinsip-prinsip administrasi yang gagal dikembangkan oleh para ilmuwan
terdahulu. Dwiyanto (2007) menjelaskan bahwa lembaga pemerintah mengembangkan nilai-nilai dan
praktik yang berbeda dengan yang berkembang di swasta (pasar) dan organisasi
sukarela. Mekanisme pasar bekerja karena dorongan untuk mencari laba, sementara
lembaga pemerintah bekerja untuk mengatur, melayani dan melindungi kepentingan
publik. Karena karakteristik antara birokrasi pemerintah dan organisasi swasta
sangat berbeda, maka para ilmuwan dan praktisi administrasi negara menyadari
pentingnya mengembangkan teori dan pendekatan yang berbeda dengan yang
dikembangkan oleh para ilmuwan yang mengembangkan teori-teori administrasi
bisnis. Dengan kesadaran baru tersebut maka identitas Ilmu Administrasi Negara
menjadi semakin jelas, yaitu ilmuwan administrasi negara lebih menempatkan
proses administrasi sebagai pusat perhatian (fokus) dan lembaga pemerintah
sebagai tempat praktik (lokus).
Perubahan administrasi
negara ke administrasi publik
Sejarah tentang perubahan Ilmu Administrasi
Negara masih terus berulang. Upaya mendefinisikan diri Ilmu Administrasi Negara
sebagai ilmu administrasi pemerintahan sebagaimana dijelaskan sebelumnya
ternyata tidak berlangsung lama. Dinamika lingkungan administrasi negara yang
sangat tinggi kemudian menimbulkan banyak pertanyaan tentang relevansi
keberadaan Ilmu Administrasi Negara sebagai administrasi pemerintahan. Gugatan
tersebut terutama ditujukan pada lokus Ilmu Administrasi Negara yang dirasa
tidak memadai lagi. Menurut Dwiyanto (2007) lembaga pemerintah dirasa terlalu
sempit untuk menjadi lokus Ilmu Administrasi Negara. Kenyataan yang ada
menunjukkan bahwa lembaga pemerintahan tidak lagi memonopoli peran yang selama
ini secara tradisional menjadi otoritas pemerintah. Saat ini semakin mudah
ditemui berbagai lembaga non-pemerintah yang menjalankan misi dan fungsi yang
dulu menjadi monopoli pemerintah saja. Di sisi yang lain,
organisasi birokrasi juga tidak semata-mata
memproduksi barang dan jasa publik, tetapi juga barang dan jasa privat.
Pratikno (2007) juga memberikan konstatasi yang sama. Saat ini negara banyak
menghadapi pesaing-pesaing baru yang siap menjalankan fungsi negara, terutama
pelayanan publik, secara lebih efektif. Selain pelayanan publik, dalam bidang
pembangunan ekonomi dan sosial, negara juga harus menegosiasikan kepentingannya
dengan aktor-aktor yang lain, yaitu pelaku bisnis dan kalangan civil society
(masyarakat sipil). Secara lebih tegas, Miftah Thoha (2007) bahkan mengatakan telah terjadi perubahan paradigma “ dari
orientasi manajemen pemerintahan yang serba negara menjadi berorientasi ke
pasar (market). Menurut Thoha, pasar di sini secara politik bisa
dimaknai sebagai rakyat atau masyarakat (public). Fenomena menurunnya
peran negara ini merupakan arus balik dari apa yang disebut Grindle sebagai too much state, di mana negara pada pertengahan 1980-an
terlalu banyak melakukan intervensi yang berujung pada jeratan hutang luar negeri, krisis fiskal, dan pemerintah yang terlalu sentralistis dan otoriter.
Dwiyanto (2007) menyebut setidaknya ada
empat faktor yang menjadi sebab semakin menurunnya dominasi peran negara,
yaitu:
- Dinamika ekonomi, politik dan budaya yang membuat
kemampuan pemerintah semakin terbatas untuk dapat memenuhi semua tuntutan
masyarakat;
- Globalisasi yang membutuhkan daya saing yang tinggi di
berbagai sektor menuntut makin dikuranginya peran negara melalui
debirokratisasi dan deregulasi;
- Tuntutan demokratisasi
mendorong semakin banyak munculnya organisasi kemasyarakatan yang menuntut
untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan dan implementasinya;
- munculnya fenomena hybrid organization
yang merupakan perpaduan antara pemerintah dan bisnis.
Berbagai fenomena tersebut menimbulkan
gugatan di antara para mahasiswa maupun ilmuwan Ilmu Administrasi Negara:
Apakah masih relevan menjadikan pemerintah sebagai lokus studi Ilmu Administrasi
Negara?
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa kata
"negara‟ dalam Ilmu Administrasi Negara menjadi terlalu sempit dan kurang
relevan lagi untuk mewadahi dinamika Ilmu Administrasi Negara di awal abad
ke-21 yang semakin kompleks dan dinamis. Utomo (2007) menyebutkan bahwa dalam
perkembangan konsep Ilmu Administrasi Negara telah terjadi pergeseran titik
tekan dari negara yang semula diposisikan sebagai agen tunggal yang memiliki
otoritas untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan publik menjadi hanya
sebagai fasilitator bagi masyarakat. Dengan demikian istilah public
administration tidak tepat lagi untuk diterjemahkan sebagai administrasi
negara, melainkan lebih tepat jika diterjemahkan menjadi administrasi publik.
Sebab, makna kata ‟publik‟ di sini jauh lebih luas daripada kata ‟negara‟
(Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara UGM, 2007: x). Publik
di sini menunjukkan keterlibatan institusi-institusi non-negara baik di sektor
bisnis maupun civil society di dalam pengadministrasian pemerintahan.
Konsekuensi dari perubahan makna public
administration sebagai administrasi publik di sini adalah terjadinya
pergeseran lokus Ilmu Administrasi Negara dari yang sebelumnya berlokus pada
birokrasi pemerintah menjadi berlokus pada organisasi publik, yaitu birokrasi
pemerintah dan juga organisasi-organisasi non-pemerintah yang terlibat
menjalankan fungsi pemerintahan, baik dalam hal penyelenggaraan pelayanan
publik maupun pembangunan ekonomi, sosial maupun bidang-bidang pembangunan
yang lain.
Lingkup
Kebijakan publik
Luther Gulick (1892–1993).
Dengan adanya pergeseran makna ‟publik‟
sebagaimana dijelaskan di atas, maka ilmu administrasi publik telah menemukan
lokusnya secara lebih jelas. Intinya, semua aktivitas yang terjadi pada
birokrasi pemerintah dan organisasi-organisasi non-pemerintah yang menjalankan
fungsi pemerintah menjadi bidang perhatian ilmuwan administrasi publik. Apabila
lokus ilmu administrasi publik menjadi semakin jelas, pertanyaan berikutnya
adalah apa yang seharusnya menjadi fokus perhatian ilmuwan administrasi publik.
Kegelisahan tersebut kemudian dijawab dengan munculnya studi kebijakan publik
sebagai pokok perhatian ilmuwan administrasi publik. Hal ini merupakan
implikasi yang sangat logis karena kebijakan publik merupakan output utama dari
pemerintah (Dwiyanto, 2007). Bagi pemerintah, kebijakan merupakan instrumen
pokok yang dapat dipakai untuk mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya
memecahkan berbagai persoalan publik (public affairs). Upaya tersebut
dapat dilakukan dengan menggunakan kebijakan domestik yang bersifat: distributive
policy, protective regulatory policy, competitive regulatory policy, dan
redistributive policy (Ripley, 1985: 60).
Dwiyanto (2007) dengan mengutip pendapat Denhardt mengatakan bahwa tingginya minat ilmuwan administrasi publik untuk
memusatkan perhatian pada studi kebijakan semakin meningkatkan keyakinan bahwa
para administrator memiliki intensitas yang tinggi dalam proses perumusan
kebijakan publik. Hal ini juga semakin menguatkan argumen bahwa ilmu
administrasi publik memang tidak dapat dipisahkan dari induknya Ilmu Politik, sebab proses perumusan kebijakan itu
sendiri tidak hanya dilakukan melalui tahapan yang bersifat teknokratis akan
tetapi juga melampaui tahapan yang bersifat politis. Tahapan teknokratis dalam
proses perumusan kebijakan memiliki posisi sentral. Sebab, pada tahapan ini berbagai
solusi cerdas sebagai upaya memecahkan persoalan masyarakat digodok agar dapat
dirumuskan serangkaian alternatif kebijakan yang dapat dipilih oleh para policy
maker melalui proses politik. Pentingnya proses teknokratis dalam pembuatan
kebijakan semakin membuat analisis kebijakan publik menjadi keahlian yang
sangat vital yang dibutuhkan oleh para praktisi administrasi publik.
Berbagai tokoh seperti William N. Dunn (1981), Carl Patton dan David Sawicki (1983), Arnold J. Meltsner (1986), dan lain-lain telah menghasilkan berbagai buku penting sebagai
acuan para ilmuwan dan praktisi administrasi publik dalam melakukan kegiatan
analisis kebijakan publik. Selain itu, kenyataan bahwa kebijakan yang telah dirumuskan
tidak selalu menjamin implementasinya akan berjalan mulus juga memicu munculnya
studi implementasi kebijakan publik di dalam ilmu administrasi publik. Para
ilmuwan seperti Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky (1984), Merilee Grindle (1980), Malcolm Goggin et.al (1990) merupakan sebagian ilmuwan yang
menjadi pelopor pengembangan studi implementasi dalam disiplin Ilmu
Administrasi Publik.
Nama : Kardilla
NIM : 215.057.20201.2152
Jurusan : Administrasi
Publik / Semester I ( Ganjil )